KAMBING SAMOSIR
Berdasarkan sejarahnya kambing
ini dipelihara penduduk setempat secara turun temurun di Pulau Samosir,
di tengah Danau Toba, Kabupaten Samosir, Provinsi Sumatera Utara.
Kambing Samosir pada mulanya digunakan untuk bahan upacara persembahan
pada acara keagamaan salah satu aliran kepercayaan aninisme (Parmalim)
oleh penduduk setempat. Kambing yang dipersembahkan harus yang berwama
putih, maka secara alami penduduk setempat sudah selektif untuk
memelihara kambing mereka mengutamakan yang berwarna putih. Kambing
Samosir ini bisa menyesuaikan diri dengan kondisi ekosistem lahan kering
dan berbatu-batu, walaupun pada musim kemarau biasanya rumput sangat
sulit dan kering. Kondisi pulau Samosir yang topografinya berbukit,
ternyata kambing ini dapat beradaptasi dan berkembang biak dengan baik.
Penelitian
terhadap kambing spesifik lokal yang ada di Kabupaten Samosir Sumatera
Utara dilakukan untuk mengetahui karakteristik morfologik tubuh.
Pengamatan ini dilakukan secara langsung dilapangan melalui pengukuran
morfologik tubuh. Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif. Dari
hasil yang diperoleh karakteristik morfologik tubuh kambing dewasa
yaitu rataan bobot badan betina 26,23 kurang lebih 5,27 kg; panjang
badan 57,61 kurang lebih 5,33 cm; tinggi pundak 50,65 kurang lebih 5,28
cm; tinggi pinggul 53,22 kurang lebih 5,43 cm; dalam dada 28,67 kurang
lebih 4,21 cm dan lebar dada 17,72 kurang lebih 2,13 cm. Berdasarkan
ukuran morfologik tubuh, bahwa kambing spesifik lokal Samosir ini hampir
sama dengan kambing Kacang yang ada di Sumatera Utara, yang
membedakannya terhadap kambing Kacang yaitu penotipe warna tubuh yang
dominan putih dengan hasil observasi 39,18% warna tubuh putih dan 60,82%
warna tubuh belang putih hitam. Dari warna belang putih hitam
didapatkan rataan sebaran warna berdasarkan luasan permukaan tubuh
92,68% kurang lebih 4,23% warna putih dan 7,32 kurang lebih 4,11% warna
hitam. Jenis kambing jantan berwarna putih sangat diperlukan untuk acara
ritual dan adat kebudayaan setempat (parmalim). Pemberian nama kambing
Samosir pada saat ini masih secara lokal dan dikenal dengan nama Kambing
Putih atau Kambing Batak. Kata Kunci: Morfologik Tubuh, Spesifik Lokal
Samosir
KAMBING MUARA
Kambing Muara
dijumpai di daerah Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara di Propinsi
Sumatera Utara. Dari segi penampilannya kambing ini nampak gagah,
tubuhnya kompak dan sebaran warna bulu bervariasi antara warna bulu
coklat kemerahan, putih dan ada juga berwarna bulu hitam. Bobot kambing
Muara ini lebih besar dari pada kambing Kacang dan kelihatan prolifik.
Kambing Muara ini sering juga beranak dua sampai empat sekelahiran
(prolifik). Walaupun anaknya empat ternyata dapat hidup sampai besar
walaupun tanpa pakai susu tambahan dan pakan tambahan tetapi penampilan
anak cukup sehat, tidak terlalu jauh berbeda dengan penampilan anak
tunggal saat dilahirkan. Hal ini diduga disebabkan oleh produksi susu
kambing relatif baik untuk kebutuhan anak kambing 4 ekor.
KAMBING KOSTA
Lokasi
penyebaran kambing Kosta ada di sekitar Jakarta dan Propinsi Banten.
Kambing ini dilaporkan mempunyai bentuk tubuh sedang, hidung rata dan
kadangkadang ada yang melengkung, tanduk pendek, bulu pendek. Kambing
ini diduga terbentuk berasal dari persilangan kambing Kacang dan kambing
Khasmir (kambing impor). Hasil pengamatan, ternyata sebaran warna dari
kambing Kosta ini adalah coklat tua sampai hitam. Dengan presentase
terbanyak hitam (61 %), coklat tua (20%), coklat muda (10,2%), coklat
merah (5,8%), dan abu-abu (3,4%). Pola warna tubuh umumnya terdiri dari 2
warna, dan bagian yang belang didominasi oleh warna putih.
Kambing
Kosta terdapat di Kabupaten Serang, Pandeglang, dan disekitarnya serta
ditemukan pula dalam populasi kecil di wilayah Tangerang dan DKI
Jakarta.
Selama ini masyarakat hanya mengenal Kambing Kacang sebagai kambing asli Indonesia, namun karena bentuk dan performa Kambing Kosta menyerupai Kambing Kacang, sering sulit dibedakan antara Kambing Kosta dengan Kambing Kacang, padahal bila diamati secara seksama terdapat perbedaan yang cukup signifikan.
Salah satu ciri khas Kambing Kosta adalah terdapatnya motif garis yang sejajar pada bagian kiri dan kanan muka, selain itu terdapat pula ciri khas yang dimiliki oleh Kambing Kosta yaitu bulu rewos di bagian kaki belakang mirip bulu rewos pada Kambing Peranakan Ettawa (PE), namun tidak sepanjang bulu rewos pada Kambing PE dengan tekstur bulu yang agak tebal dan halus. Tubuh Kambing Kosta berbentuk besar ke bagian belakang sehingga cocok dan potensial untuk dijadikan tipe pedaging.
Saat ini populasi Kambing Kosta terus menyusut, walaupun data yang pasti untuk populasi Kambing Kosta tidak diketemukan, namun perkiraan populasinya di Provinsi Banten hanya tinggal ratusan ekor saja (500-700 ekor).
Selama ini masyarakat hanya mengenal Kambing Kacang sebagai kambing asli Indonesia, namun karena bentuk dan performa Kambing Kosta menyerupai Kambing Kacang, sering sulit dibedakan antara Kambing Kosta dengan Kambing Kacang, padahal bila diamati secara seksama terdapat perbedaan yang cukup signifikan.
Salah satu ciri khas Kambing Kosta adalah terdapatnya motif garis yang sejajar pada bagian kiri dan kanan muka, selain itu terdapat pula ciri khas yang dimiliki oleh Kambing Kosta yaitu bulu rewos di bagian kaki belakang mirip bulu rewos pada Kambing Peranakan Ettawa (PE), namun tidak sepanjang bulu rewos pada Kambing PE dengan tekstur bulu yang agak tebal dan halus. Tubuh Kambing Kosta berbentuk besar ke bagian belakang sehingga cocok dan potensial untuk dijadikan tipe pedaging.
Saat ini populasi Kambing Kosta terus menyusut, walaupun data yang pasti untuk populasi Kambing Kosta tidak diketemukan, namun perkiraan populasinya di Provinsi Banten hanya tinggal ratusan ekor saja (500-700 ekor).
KAMBING GEMBRONG
Asal
kambing Gembrong terdapat di daerah kawasan Timur Pulau Bali terutama
di Kabupaten Karangasem. Ciri khas dari kambing ini adalah berbulu
panjang. Panjang bulu sekitar berkisar 15-25 cm, bahkan rambut pada
bagian kepala sampai menutupi muka dan telinga. Rambut panjang terdapat
pada kambing jantan, sedangkan kambing Gembrong betina berbulu pendek
berkisar 2-3 cm. Warna tubuh dominan kambing Gembrong pada umumnya putih
(61,5%) sebahagian berwarna coklat muda (23,08%) dan coklat (15,38%).
Pola warna tubuh umumnya adalah satu warna sekitar 69,23% dan sisanya
terdiri dari dua warna 15,38% dan tiga warna 15,38%. Rataan litter size
kambing Gembrong adalah 1,25. Rataan bobot lahir tunggal 2 kg dan kembar
dua 1,5 kg. Tingkat kematian prasapih 20%.
Asal usul kambing
gembrong belum bisa dipastikan. Ada yang menduga kambing tersebut
merupakan persilangan antara kambing Kashmir dengan kambing Turki.
Dugaan ini didasarkan pada ciri-ciri fisik kambing yang hampir mirip
dengan kambing gembrong.
Dua jenis kambing itu masuk ke Bali dari
luar negeri sebagai hadiah untuk seorang bangsawan Bali. Dari
persilangan dua kambing itulah kambing gembrong muncul. Kambing itu
berkembang hingga beranak pinak. Tetapi, cerita ini juga masih simpang
siur. Soal asal usul kambing itu masih membutuhkan penelitian lebih
lanjut.
“Kambing gembrong sangat unik. Kambing ini dulunya banyak
hidup di daerah pantai di Kabupaten Karangasem. Nelayan sering memotong
bulunya yang panjang lalu diikatkan ke kail untuk menangkap ikan,” kata
Ketua Yayasan Bali Tekno Hayati yang juga peneliti di Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Bali, Suprio Guntoro.
Kajian
ilmiah soal “khasiat” bulu kambing itu hingga bisa mengundang ikan
datang memang belum diketahui secara persis. Para nelayan setempat
berkeyakinan, bulu yang ditaruh dekat kail itu bercahaya hingga
mengundang ikan berdatangan.
Ikan yang hiruk pikuk di dekat bulu
itu akan tersangkut mata kail yang letaknya tak jauh dari bulu kambing
itu. Tanpa pakan, nelayan dengan mudah mendapat ikan. Cara ini sudah
dikenal lama dan masih digunakan nelayan setempat.
IHWAL makin
punahnya kambing itu diduga disebabkan oleh banyak hal. Ada yang
menyebutkan bermula dari kepercayaan nelayan yang berkeyakinan bahwa
bila kambing jantan sering dikawinkan dengan kambing betina akan
menyebabkan bulunya rontok.
Mereka berusaha mencegah kambing
jantan itu mengawini kambing betina agar bulunya tetap lebat. Maklum
saja, mereka berusaha mendapatkan bulu itu karena harganya sangat mahal,
bahkan hingga mencapai Rp 400.000 per kilogram. Tentu saja nelayan
berusaha agar bulu kambing itu tetap lebat.
“Akibatnya regenerasi
kambing gembrong ini sangat lambat, hingga sekarang tinggal sedikit.
Kita sudah berupaya dengan memberi penyuluhan kepada penduduk bahwa
tidak benar kalau sering kawin bisa mengakibatkan bulu rontok,” kata
Guntoro.
Upaya penyuluhan terus dilakukan, tetapi masih saja ada
masyarakat yang percaya dengan keyakinan itu hingga menyulitkan upaya
pelestarian kambing itu. Keyakinan itu masih melekat di kalangan pemilik
kambing.
Makin punahnya kambing itu juga diakibatkan desakan
ekonomi nelayan setempat. Para nelayan yang umumnya miskin dengan mudah
menjual kambing itu ke tukang jagal karena desakan ekonomi. Misalnya
ketika anak harus sekolah, mereka terpaksa menjual kambing itu untuk
biaya sekolah anak-anak mereka.
Ada juga yang menyebutkan, dengan
bulu yang lebat hingga menutup bagian kepala, menjadikan kambing ini
mudah punah. Alasannya, kambing ini kesulitan untuk makan akibat mata
dan mulutnya tertutup oleh bulu. Kesulitan ini mengakibatkan makanan
sulit masuk ke mulut hingga tidak bisa menerima masukan gizi yang
memadai. Akibatnya, kambing mudah terserang penyakit hingga mati. Semua
penyebab ini mungkin saja saling berkait hingga makin memperparah
kepunahan kambing tersebut. Tanpa disadari kambing itu terus berkurang.
UPAYA
untuk melestarikan kambing gembrong ini belum dilakukan secara serius.
Dari tahun ke tahun belum ada pihak yang mau melestarikan hewan ini,
bahkan nyaris terlupakan dan tidak mendapat perhatian.
Pada
mulanya, Yayasan Bali Tekno Hayati yang mendapat sponsor dari Yayasan
Keanekaragaman Hayati (Kehati) pada tahun 1998-1999 mulai melakukan
konservasi. Dengan dana Rp 25 juta, yayasan membeli kambing itu dari
nelayan, kemudian menitipkannya.
Mereka yang dititipi berhak
mendapat induknya, namun berkewajiban untuk menyerahkan anakannya. Dari
anakan ini, yayasan kemudian menitipkannya lagi ke peternak lainnya yang
diharapkan agar terus berkembang hingga kambing ini bisa lestari.
Akan
tetapi, upaya ini hanya berlangsung dua tahun akibat yayasan kesulitan
dana untuk melestarikan kambing itu. Dana dari Kehati hanya dapat
digunakan selama dua tahun itu.
Di sisi lain, dengan alasan
tertentu akibat desakan ekonomi, kambing-kambing itu tidak terurus
dengan baik. Bahkan, peternak juga ada yang menjualnya hingga upaya
pelestarian terhambat.
Agar tidak makin punah, Yayasan Bali Tekno
Hayati dengan bekerja sama BPTP melokalisasi kambing yang masih menjadi
hak yayasan. Sebanyak tujuh ekor kambing akhirnya dipindah dan
dipelihara di kebun percobaan BPTP Bali di Desa Sawe, Kabupaten
Jembrana.
Dari tujuh ekor itu kini telah beranak menjadi 10 ekor.
Kedua lembaga itu kini berusaha melestarikan satwa langka tersebut
secara in situ atau di habitatnya, yaitu di Kabupaten Karangasem dan eks
situ atau di luar habitatnya.
Mereka juga mencoba menyilangkan
dengan kambing peranakan ettawah (PE). Dengan persilangan itu dihasilkan
kambing gettah alias gembrong ettawah.
Saat ini, setidaknya
terdapat enam induk kambing peranakan ettawah yang mengandung benih
gembrong. Persilangan ini salah satunya dilakukan di Desa Bongancina,
Kecamatan Bungsubiu, Kabupaten Buleleng. Harapannya, agar kambing
gembrong tidak punah.
Upaya pelestarian ini masih jauh dari yang
diharapkan. Jumlah kambing itu masih bisa makin berkurang kalau tidak
ada upaya serius untuk melestarikannya. Apalagi sebagian besar kambing
yang masih hidup berada di tangan peternak atau nelayan yang miskin.
Masih banyak dibutuhkan bantuan dan dukungan dari semua pihak agar
kambing ini tidak lenyap.
Mengharapkan bantuan pemerintah? Mungkin
masih sulit untuk mendapatkan bantuan pemerintah untuk urusan yang satu
ini. Pemerintah belum banyak memperhatikan masalah seperti ini.
Pemerintah masih sibuk dengan urusan ekonomi dan politik yang belum
selesai hingga sekarang.
Siapa tahu ada sponsor yang mau membantu
pelestarian kambing yang satu ini. Sayang bila kambing gembrong hilang
dari muka Bumi hanya karena kita lalai untuk melestarikannya.
Kambing Boer
Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang
ter-registrasi selama lebih dari 65 tahun. Kata “Boer” artinya petani.
Kambing Boer merupakan satu-satunya kambing pedaging yang sesungguhnya,
yang ada di dunia karena pertumbuhannya yang cepat. Kambing ini dapat
mencapai berat dipasarkan 35 – 45 kg pada umur lima hingga enam bulan,
dengan rataan pertambahan berat tubuh antara 0,02 – 0,04 kg per hari.
Keragaman ini tergantung pada banyaknya susu dari induk dan ransum pakan
sehari-harinya. Dibandingkan dengan kambing perah lokal, persentase
daging pada karkas kambing Boer jauh lebih tinggi dan mencapai 40% – 50%
dari berat tubuhnya
Kambing Boer dapat dikenali dengan mudah dari tubuhnya yang lebar,
panjang, dalam, berbulu putih, berkaki pendek, berhidung cembung,
bertelinga panjang menggantung, berkepala warna coklat kemerahan atau
coklat muda hingga coklat tua. Beberapa kambing Boer memiliki garis
putih ke bawah di wajahnya. Kulitnya berwarna coklat yang melindungi
dirinya dari kanker kulit akibat sengatan sinar matahari langsung.
Kambing ini sangat suka berjemur di siang hari.
KARAKTERISTIK KAMBING BOER JANTAN
Boer jantan bertubuh kokoh dan kuat sekali. Pundaknya luas dan ke
belakang dipenuhi dengan pantat yang berotot. Kambing Boer dapat hidup
pada suhu lingkungan yang ekstrim, mulai dari suhu sangat dingin (-25oC)
hingga sangat panas (43oC) dan mudah beradaptasi terhadap perubahan
suhu lingkungan. Tahan terhadap penyakit. Mereka dapat hidup di kawasan
semak belukar, lereng gunung yang berbatu atau di padang rumput. Secara
alamiah mereka adalah hewan yang suka meramban sehingga lebih menyukai
daun-daunan, tanaman semak daripada rumput.
Kambing Boer jantan
dapat menjadi hewan yang jinak, terutama jika terus berada di sekitar
manusia sejak lahir, meskipun ia akan tumbuh dengan berat badan 120 –
150 kg pada saat dewasa (umur 2-3 tahun). Mereka suka digaruk dan
digosok di bagian belakang telinganya, hingga punggung dan sisi
perutnya. Mereka dapat mudah ditangani dengan memegang tanduknya. Mereka
dapat juga dilatih dituntun dengan tali. Namun, sebaiknya jangan
mendorong bagian depan kepalanya karena mereka akan menjadi agresif.
Boer
jantan dapat kawin di bulan apa saja sepanjang tahun. Mereka berbau
tajam karena hal ini untuk memikat betina. Seekor pejantan dapat aktif
kawin pada umur 7-8 bulan, tetapi disarankan agar satu pejantan tidak
melayani lebih dari 8 – 10 betina sampai pejantan itu berumur sekitar
satu tahun. Boer jantan dewasa (2 – 3 tahun) dapat melayani 30 – 40
betina. Disarankan agar semua pejantan dipisahkan dari betina pada umur 3
bulan agar tidak terjadi perkawinan yang tidak direncanakan. Seekor
pejantan dapat mengawini hingga selama 7 – 8 tahun.
KARAKTERISTIK KAMBING BOER BETINA
Boer betina tumbuh seperti jantan, tetapi tampak sangat feminin dengan
kepala dan leher ramping. Ia sangat jinak dan pada dasarnya tidak banyak
berulah. Ia dapat dikawinkan pada umur 10 – 12 bulan, tergantung besar
tubuhnya. Kebuntingan untuk kambing adalah 5 bulan. Ia mampu melahirkan
anak-anak tiga kali dalam dua tahun. Betina umur satu tahunan dapat
menghasilkan 1 – 2 anak. Setelah beranak pertama, ia biasanya akan
beranak kembar dua, tiga, bahkan empat. Boer induk menghasilkan susu
dengan kandungan lemak sangat tinggi yang cukup untuk disusu
anak-anaknya. Ketika anaknya berumur 2½ – 3½ bulan induk mulai kering.
Boer betina mempunyai dua hingga empat puting, tetapi kadangkala tidak
semuanya menghasilkan susu. Sebagai ternak yang kawinnya tidak musiman,
ia dapat dikawinkan lagi tiga bulan setelah melahirkan. Birahinya dapat
dideteksi dari ekor yang bergerak-gerak cepat disebut “flagging”. Boer
betina mampu menjadi induk hingga selama 5 – 8 tahun. Betina dewasa
(umur 2-3 tahun) akan mempunyai berat 80 – 90 kg. Boer betina maupun
jantan keduanya bertanduk.
0 komentar:
Posting Komentar