Kontribusi jaringan ikat
pada kekerasan daging juga sangat penting seperti pada jaringan
muskuler. Kandungan, kualitas dan penyebaran jaringan ikat dalam otot
merupakan penanggung jawab utama terhadap perbedaan kekerasan antar otot
(Boccard dkk., 1967).
Pengaruh kandungan kolagen
Suatu
korelasi yang erat antara kandungan kolagen dengan kekerasan daging
yang dinilai dengan melakukan pemutusan paralel dengan arah serat daging
(Nottingham, 1956). Boccard dkk. (1967) memperlihatkan koefisien
korelasi (R) 0,82 antara kandungan kolagen dengan indeks kekerasan
daging yang diukur menggunakan Warner Bratzler shear force.. Kopp dan
Bonnet (1982) memperlihatkan koefisien korelasi antara daya putus dengan
kandungan kolagen pada daging mentah yang telah mengalami maturasi
sebesar + 0,87. Beberapa peneliti menemukan korelasi antara daya putus
dengan kandungan kolagen pada otot Longissimus dorsi dan Semitendinosus
yang cukup rendah (Reagan dkk., 1976 ; Jeremiah dan Martin, 1981).
Sorensen (1981) mengemukakan bahwa kandungan dan solubilitas kolagen
hanya dapat menjelaskan variasi keempukan sebesar 15 - 20 % pada otot
Longissimus dorsi dan Semitendinosus dari ternak dengan genotipe dan
umur yang sama. Abustam (1987) memperlihatkan bahwa kandungan kolagen
daging sapi bervariasi, tergantung pada jenis otot dan umur ternak,
variasi ini sangat besar pada otot empuk dan ternak umur muda yang mana
48 - 66 % dapat menjelaskan variasi keempukan daging. Semakin tinggi
kadar kolagen, semakin rendah suhu awal kontraksi dan semakin penting
tegangan maksimal (maximal tension) selama pemanasan daging. Menurut
Dransfield (1977) bahwa kadar kolagen nampaknya merupakan penduga yang
baik bagi kekerasan daging mentah jika perbandingan dilakukan pada
otot-otot yang berbeda dari umur yang sama. Sebaliknya pengukuran kadar
kolagen nampaknya kurang sensitif jika perbandingan dilakukan pada otot
yang sama yang berasal dari ternak yang berbeda. Kadar kolagen bukanlah
faktor tersendiri dalam menjelaskan variasi kekerasan jaringan ikat.
Pengaruh solubilisasi kolagen
Sifat-sifat
kimiawi dan komposisi asam amino kolagen mempunyai peranan penting
dalam penentuan kekerasan daging. Tingkat solubilitas (Kopp, 1971) dan
proporsi dari berbagai tipe ikatan kimia retikulasi kolagen (croos-link)
(Bailey, 1972 ; Shimokomaki dkk., 1972) berpengaruh terhadap keempukan
daging. Semakin besar jumlah ikatan intra dan inter molekuler pada
molekul kolagen, daging semakin keras. Dengan demikian daging anak sapi
lebih empuk daripada daging sapi kastrasi umur tua, sekalipun kuantitas
jaringan ikat pada anak sapi yang baru lahir lebih banyak daripada
ternak yang lebih tua (Schmitt dan Dumont, 1972). Penelitian Abustam
(1987) memperlihatkan bahwa solubilitas kolagen intramuskuler menurun
dengan meningkatnya umur ternak dan tidak mempunyai hubungan, baik
dengan resistensi mekanik daging mentah maupun dengan tegangan maksimal
pada kontraksi serat kolagen selama pemanasan. Solubilisasi meningkat
secara nyata dimulai pada suhu 70o C dan secara bersamaan terjadi peningkatan kehilangan berat selama pemasakan. Hanya pada suhu 95o C
dengan lama pemasakan 60 menit menghasilkan tingkat solubilisasi
kolagen yang cukup untuk menurunkan tegangan maksimal pada tingkat
destruktif (deformasi) 80 %.
Hasil penelitian yang lain memperlihatkan bahwa dengan menggunakan Nuclear Magnetic Resonance dalam menilai solubilitas kolagen menunjukkan bahwa sesudah denaturasi termik jaringan ikat (70 o
C selama 20 menit) terdapat korelasi yang tinggi (r = - 0,78) antara
persentase populasi proton dengan waktu relaksasi transversal yang
singkat(P2aD) dengan solubilitas jaringan ikat (Abustam, 1987).
Pengaruh morpho-anatomie jaringan ikat
Dumont
dkk (1977) menyatakan bahwa variasi indeks rata-rata kekerasan otot
dapat dijelaskan melalui karakter otot yang berhubungan dengan bentuk
otot, karakter dimensional dan morphologie kelompok berkas serat utama
dari perimisum, dan perbedaan-perbedaan karakter mikroskopik seperti
repartisi dan penyebaran jaringan ikat serta jumlah saluran darah ke
otot. Barbu (1977) menunjukkan bahwa indeks kekerasan otot berhubungan
dengan karakteristik berkas jaringan ikat, densitas rata-rata miosken
(kelompok berkas serat utama) yang dilakukan pada dua sumbu utama pada
otot (lebar dan tebal), dan karakteristik perimisium. Densitas linier
dari berkas perimisium berpengaruh secara langsung pada keempukan daging
(Dumont, 1983 ; Abustam, 1984). Beberapa karakter morpho-anatomik dari
berkas perimisium dapat dipertimbangkan seperti, jumlah berkas serat
utama dengan ukuran kecil, homogenitas, dan kehalusan (tipis) dari
berkas perimisium kedua, dalam menilai variasi kadar kolagen dan
kekerasannya (Abustam, 1984). Densitas linier dari berkas perimisium dan
jumlah berkas serat utama bervariasi tergantung pada jenis otot.
Terjadi penurunan densitas linier dengan meningkatnya umur ternak yang
dapat dijelaskan melalui peningkatan luas permukaan rata-rata dari
berkas serat utama. Densitas linier berkas perimisium hanya dapat
menjelaskan sebesar 29 % dari variasi resistensi mekanik daging mentah.
Dengan menggabungkan antara densitas linier dan kadar kolagen, keduanya
dapat menjelaskan 55 % variasi kekerasan daging (Abustam, 1987).
Kondisi pemasakan
Suhu dan lama pemasakan memegang peranan penting pada
perubahan komponen jaringan ikat pada daging. Otot dengan potensi
keempukan yang tinggi memerlukan suhu pemasakan dan waktu pemasakan yang
cepat. Sebaliknya pada otot yang dalam keadaan mentah memperlihatkan
kekerasan yang berarti memerlukn waktu pemasakan yang cukup lama.
Berdasarkan atas sifat kolagen yang membutuhkan suhu untuk mengalami
gelatinisasi pada suhu 80°C,
perlu menjadi pertimbangan penerapannya, dengan waktu pemasakan yang
cukup lama, minimal diatas satu jam. Pemasakan yang melampaui batas
optimal pada daging empuk akan menyebabkan terjadinya pengerasan,
pemasakan berlanjut setelah batas optimal tersebut akan mengakibatkan
pengempukan yang diharapkan. Dengan demikian padanan antara suhu dan
lama pemasakan yang digunakan harus disesuaikan dengan potensi keempukan
dari otot tersebut. Berdasarkan metode pemasakan ini maka dikenal
pemasakan lambat dan pemasakan cepat.
Pengaruh umur
Dapat disimpulkan secara umum, bahwa keempukan menurun dengan
bertambahnya umur (Gambar 3). Namun demikian perbaikan pakan (pemberian
pakan enersi tinggi) pada ternak sapi perah afkir sebelum penyembelihan
untuk memperbaiki kondisinya berdampak terhadap perbaikan keempukan,
lebih empuk dari sapi yang berumur muda dengan kondisi puberitas.
Perbaikan kualitas kolagen melalui terbentuknya kolagen baru (neo
kolagen) yang ditandai dengan sifat kolagen tersebut kembali seperti
pada kolagen anak sapi (sapi muda) yakni ikatan silang yang labil
terhadap panas, dapat menjelaskan fenomena tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar